emasharini.id – PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR), emiten bus listrik dari Grup Bakrie, mencatat kerugian besar terhadap kinerja mereka. Pada semester I 2025, laba bersih perusahaan merosot drastis hingga 68,87%, turun dari Rp 15,1 miliar menjadi hanya Rp 4,7 miliar.
Meski laba anjlok, penjualan VKTR justru meningkat 1,2% menjadi Rp 414,03 miliar, naik dari Rp 408,99 miliar di periode yang sama tahun sebelumnya.
Penyebab Turunnya Laba
Direktur VKTR, Achmad Amri Aswono Putro, menjelaskan bahwa penjualan bus listrik masih berjalan lambat di paruh pertama tahun ini. Ia menyebut bahwa banyak pengiriman unit baru akan dilakukan pada semester II.
Amri menambahkan bahwa segmen manufaktur suku cadang mendukung pertumbuhan pendapatan. Dia juga menyebut bahwa fasilitas baru di Magelang sudah rampung dan mulai memasukkan aset ke dalam neraca konsolidasi.
VKTR mencatat total aset naik menjadi Rp 1,79 triliun dari Rp 1,60 triliun tahun sebelumnya. Kenaikan aset ini terutama berasal dari investasi proyek pabrik baru senilai sekitar Rp 400 miliar di Magelang.
Kondisi Saham & Pengawasan Bursa
Seiring laporan keuangan, saham VKTR mengalami lonjakan tajam. Dalam sepekan terakhir, harga saham naik 26% ke Rp 252 per lembar, sedangkan dalam sebulan dijumpai kenaikan 127,03% dari Rp 111 ke Rp 252.
Lonjakan ini menyebabkan BEI melakukan suspensi perdagangan saham VKTR pada sesi I 3 Oktober 2025. Suspensi ini menjadi upaya perlindungan terhadap investor karena kenaikan harga yang tajam.
Dalam keterangan publik, manajemen VKTR memastikan mereka telah melaporkan seluruh informasi material sesuai regulasi pasar modal dan tidak menunda pengumuman penting.
Tabel Kinerja Keuangan VKTR Semester I 2025
| Indikator | Nilai 2025 | Nilai 2024 | Perubahan |
|---|---|---|---|
| Laba Bersih | Rp 4,7 miliar | Rp 15,1 miliar | –68,87% |
| Pendapatan | Rp 414,03 miliar | Rp 408,99 miliar | +1,2% |
| Total Aset | Rp 1,79 triliun | Rp 1,60 triliun | Naik ~Rp 190 miliar |
Tabel di atas menggambarkan bahwa penurunan laba bukan karena pendapatan yang anjlok, melainkan margin serta struktur biaya dan penjualan unit listrik yang belum optimal.
