emasharini.id – Bank investasi Goldman Sachs menaikkan target harga emas untuk Desember 2026 menjadi US$ 4.900 per ons troy, dari sebelumnya US$ 4.300. Kenaikan ini didorong oleh meningkatnya permintaan jangka panjang dari investor global dan pembelian berkelanjutan oleh bank sentral di berbagai negara.
Menurut laporan riset terbaru, arus dana ke emas kini dianggap “lengket” atau berkelanjutan. Hal ini memperkuat posisi emas sebagai aset lindung nilai di tengah ketidakpastian ekonomi global. Goldman juga memperbarui model harga emasnya dengan asumsi baseline baru yang lebih tinggi.
Faktor-Faktor Penggerak Proyeksi
Goldman Sachs memperkirakan bahwa bank sentral negara berkembang akan terus meningkatkan porsi emas dalam cadangan devisa mereka. Rata-rata pembelian diproyeksikan mencapai 80 ton pada 2025 dan 70 ton pada 2026. Selain itu, permintaan dari investor institusional dan ritel di Barat meningkat melalui instrumen Exchange-Traded Fund (ETF).
Kenaikan permintaan ini juga sejalan dengan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed sekitar 100 basis poin pada pertengahan 2026. Dengan suku bunga lebih rendah, imbal hasil aset berbasis dolar menurun sehingga mendorong investor beralih ke emas.
Posisi spekulatif di pasar emas juga masih terkendali. Goldman menilai bahwa lonjakan permintaan ETF masih seimbang dan belum menimbulkan gejala overheat. Bank ini bahkan menilai risiko terhadap proyeksi emas masih cenderung ke arah kenaikan. Jika sektor swasta mulai melakukan diversifikasi ke emas, permintaan global bisa melampaui perkiraan awal.
Tinjauan Kondisi Pasar Saat Ini
Harga emas spot kini bergerak di kisaran US$ 3.960 per ons, sempat menyentuh level tertinggi US$ 3.977 pada awal Oktober 2025. Sejak awal tahun, harga emas telah menguat lebih dari 50%, didorong oleh kombinasi faktor seperti pelemahan dolar AS, pembelian bank sentral, peningkatan arus dana ETF, serta permintaan tinggi dari investor ritel.
Goldman Sachs menilai momentum ini belum selesai. Arus masuk besar ke ETF Barat menunjukkan minat jangka menengah terhadap emas masih kuat. Selain itu, ketidakpastian geopolitik, prospek pertumbuhan ekonomi global yang moderat, dan tekanan inflasi menjadi katalis tambahan bagi kenaikan harga logam mulia tersebut.
Meski proyeksinya optimis, Goldman Sachs mengingatkan bahwa beberapa risiko masih perlu diwaspadai. Jika penurunan suku bunga The Fed tertunda atau ekonomi Amerika Serikat tetap kuat, minat terhadap emas bisa melambat. Begitu pula jika pembelian bank sentral menurun akibat tekanan fiskal di negara berkembang.
Namun, dalam skenario sebaliknya — yakni ketika inflasi global meningkat atau ketegangan geopolitik memburuk — harga emas berpotensi menembus batas psikologis baru bahkan sebelum akhir 2026.
