emasharini.id – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang menyelidiki 97 perusahaan fintech P2P lending terkait dugaan kartel suku bunga. Tuduhan menyebut bahwa pelaku industri melalui asosiasi menetapkan suku bunga pinjaman secara kolektif. Dua periode utama disebut yaitu tahun 2018, ketika batas suku bunga harian ditetapkan 0,8%, dan tahun 2021, saat batas turun menjadi 0,4% per hari. Dugaan ini juga melibatkan adanya SK Code of Conduct atau Pedoman Perilaku dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
OVO Finansial termasuk salah satu dari perusahaan yang dilaporkan. Mereka dipanggil KPPU dalam sidang pemeriksaan pendahuluan. OVO Finansial melalui Komisarisnya Karaniya Dharmasaputra menyatakan bahwa perusahaannya tidak terlibat praktik kartel suku bunga tersebut.
Klarifikasi OVO Finansial: Bunga yang Diterapkan dan Alasan Pembelaan
OVO Finansial menjelaskan bahwa suku bunga produk-produknya jauh di bawah batas maksimum yang pernah ditetapkan oleh OJK. Contohnya, untuk produk mereka:
-
OVO Modal Usaha: 0,05% per hari
-
GrabModal: 0,11% per hari
-
OVO PayLater: 0,16% per hari
OVO juga menegaskan bahwa mereka tidak pernah ikut dalam rapat atau perjanjian formal yang menetapkan suku bunga bersama seperti tuduhan. Keanggotaan mereka di AFPI hanya sebagai anggota yang mengikuti regulasi OJK serta arahan yang ditetapkan.
OVO Finansial menyebut bahwa penetapan bunga dilakukan berdasarkan business assessment internal, bukan atas aturan kolektif tumbuh dari pertemuan asosiasi yang kemudian diberi tekanan agar semua perusahaan menerapkan satu tarif.
Dampak Dugaan Kartel terhadap Industri dan Kepercayaan
Tuduhan kartel suku bunga fintech ini berdampak lebih dari sekadar praktik tarif. OVO Finansial menyebut bahwa tuduhan itu bisa memengaruhi kepercayaan investor, terutama investor asing yang melihat kepastian hukum sebagai bagian dari pertimbangan investasi.
Selain investor, publik atau konsumen juga menjadi perhatian. Dengan suku bunga yang pernah dibatasi dan kemudian diturunkan, OVO berargumen bahwa perubahan tersebut sudah membawa manfaat, yaitu memberi perlindungan kepada konsumen dari tarif bunga pinjol yang semula dianggap tidak terkendali.
Sidang pemeriksaan oleh KPPU telah berlangsung sejak Agustus 2025, termasuk sidang tanggapan terlapor dan pembacaan alat bukti. Semua pihak terlapor, termasuk OVO, menyampaikan bantahan mereka. Keputusan akhir atas tuduhan ini masih dalam proses di Majelis Komisi KPPU.
Tinjauan Regulasi dan Implikasi ke Depan
Regulasi yang menjadi sorotan termasuk POJK No. 77 Tahun 2016 tentang fintech, serta regulasi-mengenai batas atas suku bunga pinjaman online yang dikeluarkan OJK. OVO menyebut bahwa kebijakan seperti penetapan batas bunga dan penurunan dari 0,8% ke 0,4%, serta kemudian menjadi 0,3% pada 2024, merupakan bagian dari usaha regulasi melindungi konsumen.
Jika KPPU menemukan bukti pelanggaran, perusahaan terlapor bisa dikenai sanksi sesuai Undang-Undang Persaingan Usaha. Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat bisa berimbas pada denda, atau penyesuaian operasional.
Ke depannya, industri fintech P2P lending harus memperjelas transparansi dalam penetapan bunga. Asosiasi seperti AFPI juga mungkin harus didorong agar setiap keputusan kolektif berada dalam koridor regulasi dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsumen dan investor akan terus memantau hasil sidang ini karena bisa menjadi preseden bagi praktik usaha fintech lending di masa depan.
